Pages

Sabtu, 21 Mei 2011

Ketergantungan Obat

Dalam memilih obat yang tepat dan dosis yang digunakan, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan yang dapat membedakan respon sesorang pada sebuah obat. Salah satunya adalah pengulangan dosis.
Variasi respon pada pengulangan dosis dapat berupa :

  1. Efek kumulatif : peningkatan repon secara progresif yang terjadi saat kecepatan administrasi obat lebih dari kecepatan eliminasi.
  2. Toleransi : pengurangan respon pada obat karena penggunaan berulang. Mekanisme ini dipengaruhi oleh peningkatan biotransformasi dan adaptasi reseptor. Proses ini dapat dikarakteristikan sebagai receptor downregulation (pengurangan jumlah atau afinitas reseptor) atau reseptor upregulation (peningkatan jumlah atau afinitas reseptor. Ini bisa terjadi pada obat-obatan seperti psikoaktif, kardiovaskular maupun obat-obatan yang disalahgunakan (mis. Kokain). Perkembangan yang cepat dari toleransi ini disebut tachyphylaxis.
  3. Resistensi : Hilangnya respon pada dosis yang semestinya efektif. Biasanya berhubungan dengan obat anti infeksi. 1
Kebanyakan proses fisiologi diregulasi oleh aktivitas neurotransmiter. Obat-obatan juga memodifikasi aksi neurotransmiter dalam beberapa cara, seperti :
  1. Peningkatan dan pengurangan sintesis.
  2. Pengurangan penyimpanan di presinaps.
  3. Peningkatan dan pengurangan pelepasan.
  4. Mengaktivasi dan mengeblok reseptor postsinaps.
  5. Pengurangan reuptake pada membran presinaps.
  6. Pengurangan inaktivasi secara enzimatik.1
Desensitasi dan Downregulation2
Sensitifitas reseptor bisa secara signifikan diubah tergantung derajat aktivitas pada receptor site tertentu. Aktivasi persisten sebuah reseptor menyebabkan kehilangan bertahap pada sensitifitas sejalan dengan waktu, melemahkan respon. Desensitasi ini biasanya reversibel dan sesudah penghilangan agonist, sebuah pemberian kedua agonis akan mengembalikan respon asal.
Aktivasi reseptor yang berkepanjangan dengan sebuah agonis bisa mengurangi jumlah resceptor site yang berkaitan. Hal ini terjadi saat pemberian tersebut lebih cepat daripada sintesis reseptor yang baru. Fenomena ini disebut downregulation yang tidak reversibel sebagaimana desensitasi. Sebaliknya reseptor persisten antagonis bisa meningkatkan jumlah reseptor pada tempat tertentu, saat level antagonis turun, respon exaggregate pada kehadiran agonist endogenous bisa terjadi, yang muncul sebagai efek yang merugikan. Misalnya, pada pemberian dopamine blocker, oleh obat antipsikotik menyebabkan upregulation pada reseptor pusat dopamin. Supersensitivitas dopamin ini dipercaya dapat menyebabkan beberapa pergerakan involunteer, karena dopamin endogenous dapat bekerja pada receptor site yang hipersensitif untuk memperoleh perubahan aktivitas otot.
Dalam memahami perubahan jangka panjang yang disebabkan oleh penyalahgunaan obat, target awal mereka molekuler dan seluler harus diidentifikasi. Kombinasi pendekatan pada hewan dan manusia termasuk pencitraan fungsional, mengungkapkan sistem dopamin mesolimbic sebagai target utama obat-obatan adiktif. Sistem ini berasal dari daerah tegmental ventral (VTA), struktur kecil di ujung batang otak, yang proyeksi ke nucleus accumbens, amigdala, dan korteks prefrontal). Sebagian besar neuron proyeksi VTA adalah neuron penghasil dopamin. Ketika neuron dopamin dari mulai fire, sejumlah besar dopamin dilepaskan dalam nucleus accumbens dan korteks prefrontal. Aplikasi langsung obat ke VTA juga bertindak sebagai penguat yang baik, dan administrasi sistemik penyalahgunaan obat menyebabkan pelepasan dopamin. Secara umum, semua obat adiktif mengaktifkan sistem dopamin mesolimbic. Namun, aktivitas spesifik dalam peningkatan dopamin masih diperdebatkan.
Karena setiap obat adiktif memiliki target molekul tertentu yang melibatkan mekanisme selular yang berbeda untuk mengaktifkan sistem mesolimbic, tiga kelas dapat dibedakan: Sebuah kelompok pertama untuk mengikat reseptor Gio-coupled, sebuah kelompok kedua berinteraksi dengan reseptor ionotropic atau saluran ion, dan yang ketiga kelompok sasaran transporter monoamina. G protein-coupled receptors (GPCRs) yang dari keluarga Gio menghambat neuron melalui hyperpolarization postsynaptic dan peraturan presynaptic pelepasan transmitter. Dalam VTA, tindakan ini lebih cenderung pada obat neuron asam-aminobutyric (GABA) yang bertindak sebagai interneurons hambat lokal.Obat addictive yang mengikat pada reseptor kanal ion ionotropic dan dapat memiliki efek gabungan pada neuron-neuron dopamin dan GABA, akhirnya mengarah pada peningkatan pelepasan dopamin. Terakhir, obat adiktif yang mengganggu monoamine transporters block reuptake atau merangsang pelepasan dopamin nonvesicular, menyebabkan akumulasi dopamin ekstraseluler dalam struktur target. Sementara obat dari kelas ini juga mempengaruhi transporter dari monoamina lain (norepinefrin, serotonin), itu adalah tindakan pada sistem dopamin yang berperan untuk adiksi. Hal ini tampak pada pengamatan bahwa antidepresan yang menghalangi uptake serotonin dan norepinefrin, tetapi tidak serapan dopamin, tidak menyebabkan kecanduan bahkan setelah penggunaan jangka panjang.3
Drug Abuse
Drug abuse atau penyalahgunaan obat adalah cara menggunakan obat hanya untuk kesenangan pribadi atau golongan saja. Obat itulah yang dinamakan obat-obatan terlarang atau narkoba. Obat jenis ini adalah obat yang dapat menimbulkan efek perasaan yang senang (euphoria) yang biasanya dapat membuat candu. Pengaruh yang di timbulkan oleh obat terlarang ini dilihat dari seberapa besar kemungkinan obat tersebut akan membuat peminumnya menjadi kecanduan. Semakin kuat obat tersebut, maka semakin besar kemungkinan peminumnya menjadi kecanduan.4
Physic dependence merupakan fenomena biologis. Ketergantungan fisik dimanifestasikan dengan kebiasaan mencari obat secara kompulsif yang digunakan orang secara berulang untuk kepuasaan personal. Rokok merupakan salah satu contohnya. Physical dependence hadir saat penarikan obat menghasilkan gejala dan tanda yang berlawanan dengan yang diharapkan. Adiksi biasanya digunakan untuk penggabungan antara physic dan physical dependence. 5
Kekuatan yang dimiliki obat tersebut bergantung pada kapasitasnya dalam menambah aktivitas neuronal di otak. Kokain, amphetamin, etanol, opioid, cannabinoid, dan nikotin dapat menambah level  cairan ekstraseluler dopamin (DA) di ventral striatum, khususnya region nukleus accumbens. DA inilah yang dapat menimbulkan efek euphoria, meskipun hubungannya masih belum jelas.
Persentase kemungkinan menjadi adiksi
Agent Ever used % Addiction % Risk Addiction %
Tobacco 75,6 24,1 31,9
Alcohol 91,5 14,1 15,4
Illicit drugs 51,0 7,5 14,7
Cannabis 46,3 4,2 9,1
Coccaine 16,2 2,7 16,7
Stimultans 15,3 1,7 11,2
Anxiolytics 12,7 1,2 9,2
Analgesics 9,7 0,7 7,5
Psychedelics 10,6 0,5 4,9
Heroin 1,5 0,4 23,1
Inhalants 6,8 0,3 3,7
Resiko menjadi pencandu dari pengkonsumsian nikotin mempunyai kemungkinan dua kali lebih besar dari pengkonsumsian kokain. Tetapi, hal ini tidak berarti farmakologikal adiksi dari nikotin adalah dua kali lebih besar dari kokain. Juga, ada variabel lain yang dapat membuat orang menjadi adiksi seperti lingkungan sekitarnya.
Respon tubuh terhadap obat yang dikonsumsi terus menerus akan berubah. Biasanya respon tubuh terhadap hal itu adalah berkurangnya efek dari obat tersebut. Toleransi efek yang ditimbulkan oleh beberapa jenis obat lebih cepat munculnya dari pada beberapa jenis obat yang sama. Contohnya produksi euphoria yang berasal dari opioid seperti heroin mempunya efek yang cepat munculnya dan membuat pengguna ingin menambah dosisnya untuk dapat merasakan “kenikmatan” yang lebih. Di lain hal, efek dari gastrointestinal (GI) dari opioid lebih lambat munculnya. Perbedaan kecepatan respon inilah yang biasanya membuat obat tersebut menjadi disalahgunakan.4
Metabolic tolerance biasanya disebabkan oleh peningkatan disposisi obat sesudah penggunaan kronis. Behavior tolerance merupakan kemampuan untuk mengimbangi efek obat. Functional tolerance merupakan tipe paling umum. Dikarenakan perubahan dari reseptor, enzim atau aksi membran pada obat.5
Efek yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi obat secara terus menerus adalah adaptasi atau toleransi akibat dari mekanisme homeostatis. Obat tersebut dapat merubah sistem yang tadinya sudah setimbang, sistem ini akan membuat kesetimbangan yang baru dalam inhibisi atau stimulasi dari obat yang spesifik. Orang yang berada dalam kesetimbangan ini memerlukan obat tersebut secara kontinu untuk tetap mempertahankan kondisi normalnya. Jika konsumsi obat tersebut berhenti maka, akan muncul ketidakseimbangan dari homeostatis dan membutuhkan keseimbangan baru tanpa obat tersebut. Contoh kecil adalah pada orang-orang yang biasa mengkonsumsi kopi dalam jumlah banyak.4,5
Opioates dan Opioids
Beberapa obat yang termasuk dalam drug abuse ialah opiates dan opioids. Termasuk di sini adalah heroin, morfin, oxycodone dan meperidine. Obat opioid biasanya digunakan untuk meredakan nyeri.
Beberapa mekanisme sistem saraf pusat (CNS) yang dapat meredakan persepsi dari nyeri adalah dengan menimbulkan euphoria.
Heroin adalah obat opioid yang seringkali disalahgunakan. Penggunaan heroin dapat menimbulkan efek kehangatan, dan rasa kesenangan yang tinggi yang seringkali dihubungkan dengan kehidupan seksual. Setelah menginjeksikan heroin efeknya akan dimulai beberapa menit kemudian. Heroin mempunyai kelarutan terhadap lemak yang tinggi, yang membuat dapat melewati blood-brain barrier secara cepat. Setelah mengalami euphoria yang intens selama 45 detik sampai beberapa menit, muncullah periode ketenangan selama satu jam. Efek dari heroin ini menghilang setelah 3-5 jam tergantung dosis yang diminum.
Setelah kecanduan, pengguna dapat mengkonsumsi 2-4 kali per harinya. Efek dari heroin tersebut naik turun antara “nikmat” dan merasakan kesakitan setelah withdrawal (periode ketika homeostatis menurun akibat tidak adanya obat itu). Ketidakseimbangan ini menimbulkan banyak masalah dari sistem homeostatis yang sebagian diatur oleh endogen opioid. Contohnya sumbu hipotalamus-pituitari-gonadal dan sumbu hipotalamus-pituitari-adrenal menjadi tidak normal pada pengguna heroin. Perempuan pengguna heroin akan mengalami mens yang tidak normal dan pria akan mempunyai keinginan seksual yang tinggi. Mood juga akan terpengaruh.4
Pada sistem saraf pusat, penggunaan berulang dapat menyebabkan efek sebagai berikut.6
  1. a. Analgesik
Sensasi nyeri terdiri dari input berbahaya ditambah reaksi organisme terhadap stimulus tersebut. Analgesik pada opioids dapat mengubah persepsi nyeri dan reaksi pasien terhadap nyeri. Obat ini juga dapat menyebabkan peningkatan threeshold rasa nyeri. Namun, efeknya hanya bisa disimpulkan dari efek subjektif pasien.
  1. b. Euphoria
Pasien biasanya juga akan mengalami sensasi menyenangkan dan bebas dari rasa khawatir. Meskipun begitu, pada pasien yang normal (tidak merasakan sakit), pengalaman dysphoric akan lebih terasa daripada efek menyenangkan. Dysphoria akan menyebabkan kelelahan dan perasaan tidak enak.
  1. c. Sedasi
Rasa mengantuk dan kaburnya pemikiran sering terjadi pada pemberian obat jenis ini ditambah lagi dengan kerusakan pada kemampuan logika. Kadang-kadang juga bisa terjadi sedikit amnesia. Meski mengantuk pasien lebih mudah dibangunkan. Namun, kombinasi ,orfin dengan obat depressan pusat lain, mungkin mengakibatkan depresi yang mendalam. Morfin merupakan obat analgesik yang dapat menggangu pola tidur REM dan NREM, begitu juga dengan obat opioids lainnya.
  1. d. Depresi respirasi
Obat-obatan jenis ini akan menghambat mekanisme pernafasan di batang otak. Tekanan CO2 alveolar juga mungkin meningkat.
  1. e. Penekan batuk
Obat-obatan jenis ini dapat melakukan supresi pada respon batuk. Codeine, salah satu jenis obat, sering digunakan pada orang yang menderita batuk patologis dan pasien yang membutuhkan penjagaan ventilasi melalui tabung endotrakeal. Namun, supresi batuk ini juga dapat menyebabkan akumulasi sekret yang akan menhambat jalan nafas dan atelectasis.
  1. f. Miosis
Miosis merupakan aksi farmakologis yang sedikit atau bahkan tidak ada toleransi sama sekali. Oleh karena itu, hal ini penting dalam diagnosa overdosis opioids.Konstriksi pupil biasanya akan nampak pada pasien yang addict.
  1. g. Kekakuan tungkai
Hal ini dipercaya sebagai akibat aktivitas obat ini di spinal kord. Hal ini juga bisa menyebabkan gangguan torak sehingga ventilasi juga terganggu.
  1. h. Emesis
Analgesik opioids dapat mengaktivasi zona pemicu kemoreseptor pada batang otak yang memicu muntah dan mual.
Barbiturate
Barbiturate adalah kelompok obat dalam kelas obat-obat penenang yang dikenal sebagai hipnotik-sedative, yang umumnya menggambarkan efek penginduksi dan menurunkan kecemasan. Barbiturates bisa sangat berbahaya karena dosis yang tepat sulit untuk diprediksi. Bahkan sedikit overdosis dapat menyebabkan koma atau kematian. Barbiturates juga adiktif dan dapat menyebabkan withdrawal sindrom yang mengancam jiwa.7
Orang yang menyalahgunakan barbiturat menggunakannya untuk “high”, yang digambarkan sebagai mirip dengan mabuk alkohol, atau untuk menetralkan efek obat stimulan.
Selain memiliki kisaran terapeutik yang sempit, barbiturat juga bisa menyebabkan kecanduan. Jika dikonsumsi setiap hari selama lebih dari sekitar 1 bulan, otak mengembangkan kebutuhan untuk obat tidur, yang menyebabkan gejala berat jika obat tersebut tidak diberikan. Withdrawal syntomps termasuk tremor, sulit tidur, dan agitasi serta bisa menghasilkan gejala yang mengancam jiwa, termasuk halusinasi, suhu tinggi, dan kejang. Wanita hamil mengambil barbiturat dapat menyebabkan bayi mereka untuk menjadi kecanduan.8
Kokain dan psikostimulus lain
Efek dari kokain adalah kerjanya yang baik dalam menahan degradasi DA dari penyebarannya. Hal ini mengakibatkan meningkatnya kadar DA di otak. Kokain juga dapat menahan penyebaran norepinephrine (NE) dan serotonine (5-HT), dan mengkonsumsi kokain secara berlebihan dapat mengakibatkan perubahan dalam sistem neurotransmitter ini.
Konsumsi kokain dapat menimbulkan efek seperti meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah yang akan meningkatkan gairah, meningkatnya kesadaran, dan rasa percayadiri. Dosis tinggi dapat menyebabkan euphoria, selama beberapa menit dan biasanya timbul keinginan untuk mengkonsumsi lebih banyak lagi. Aktivitas motorik tidak terkendali, perilaku stereotip, dan paranoia bisa terjadi setelah mengkonsumsi kokain beberapa kali. Sifat cepat marah dan kejahatan biasa terjadi pada pecandu keras kokain. Dosis kecil dari kokain biasanya berakhir setelah 50 menit tetapi pencandu ada keinginan untuk menambah dosisnya setelah 10-30 menit.
Cannabinoids (Marijuana)
Tumbuhan cannabis telah dibudidayakan dalam gunanya untuk obat-obatan dan sifatnya yang psikoaktif. Asap dari cannabis yang dibakar mengandung berbagai macam bahan kimia. Penggunaan marijuana beragam dosisnya menurut pengalaman pencandunya akan menjadi psikoaktif. Penggunaan marijuana akanmerubah mood, persepsi, dan motivasi, tapi efek yang dicari pengguna adalah “nikmatnya”. efek yang ditimbulkan beragam tapi biasanya tipikal perokok marijuana akan merasakan “nikmat” selama kurang lebih 2 jam. Selama watu itu akan terjadi penurunan nilai fungsi kognitif, persepsi, refleks, pembelajaran, dan memori. Setelah masa itu, pengguna tetap akan berperilaku tidak normal selama beberapa jam. Gangguan itu akan berakibat pada kerja motorik saraf dan tentu saja menurunkan kinerja di tempat kerja atau sekolah.4
Disusun oleh Johny Bayu Fitantra
Marijuana
Daftar Pustaka
1 Malseed RT, Goldstein FJ, Balkon N. Pharmacology, Drug Therapy and Nursing Considerations : Basic Sites and Mechanisms of Drug Action: Pharmacodynamics. 4th ed. New York: JB Lippincott Company; 1995. p.27-8.
2Malseed RT, Goldstein FJ, Balkon N. Pharmacology, Drug Therapy and Nursing Considerations : Central Nervous System. 4th ed. New York: JB Lippincott Company; 1995. p.67-8.
3Katzung BM. Basic and Clinical Pharmacoloy: Drug Abuse. 10th ed. San Fransisco: Mc Graw Hill; 2006.
4 Goodman, Gilman. Manual of Pharmacology and Therapeutics: Drug Abuse. New York: New Graw Hill; 2008. p. 387-9.
5 Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology : Drugs of Abuse. 5th ed. New Jersey: Lange Medical Publications; 1992. p. 437-49.
6 Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology : Opiod Analgesics & Antagonists. 5th ed. New Jersey: Lange Medical Publications; 1992. p. 437-49.
7 WebMD Networks. Barbiturates Abuse. Diunduh dari http://www.emedicinehealth.com/barbiturate_ abuse /article_ em.htm. Diakses 18 Mei 2010.
8 WebMD Networks. Barbiturates Abuse (cont.). Diunduh dari http://www.emedicinehealth.com/barbiturate_abuse/page3_em.htm#Barbiturate%20Abuse%20Symptoms. Diakses 18 Mei 2010.

0 komentar:

Posting Komentar